Asal-usul CALCUSOL

Setelah Perang Dunia II berakhir, obat apapun sulit dicari. Karena isteri Prof. Dr. Sardjito terkena batu ginjal dan sering merasakan sakit yang luar biasa, suami beliau, seorang dokter, memutuskan untuk melakukan penelitian guna menemukan resep yang mampu meluruhkan batu ginjal dengan menggunakan bahan baku alami setempat. Setelah melakukan beberapa percobaan, diputuskan bahwa Sonchus Arvensis L (yang kita kenal sebagai daun tempuyung) adalah bahan terbaik untuk digunakan pada resep tersebut. Setelah sang isteri mencoba resep tersebut, rasa sakit yang dideritanya lenyap hampir seketika dan kian hari keadaannya semakin membaik. Beberapa waktu kemudian, hasil tes di laboratorium menunjukkan bahwa batu di ginjalnya memang telah luruh.

Resep itu pada awalnya dibuat dalam bentuk rebusan lalu dikembangkan menjadi pil dan terakhir disempurnakan menjadi kapsul, setelah dilakukan percobaan di Paris pada tahun 1968. Disana Prof. Dr. Sardjito menerima tawaran royalty sebagai imbalan atas resep tersebut, tetapi sang Profesor menolak dengan alasan resepnya akan menjadi kurang terjangkau bagi masyarakat yang membutuhkannya.

Calcusol, demikian kapsul itu dinamakan, mulai diperkenalkan kepada masyarakat sekitar oleh Ibu Sardjito pada tahun 1971, setelah suaminya wafat. Sejak itu, banyak penderita telah berhasil mengatasi masalah batu ginjalnya tanpa operasi ataupun tindakan medis invasif lainnya. Calcusol semakin dikenal, tetapi secara perlahan karena berita tentang khasiatnya hanya beredar dari mulut ke mulut.

Untuk mengatasi kendala tersebut, PT Calumika (singkatan dari PT. Calcusol Unggul Medika) didirikan oleh kedua cucu sang Profesor pada tahun 1996. Sejak itu Calcusol dan produk lainnya yang dibuat berdasarkan resep & warisan Prof. Dr. Sardjito tersedia di apotek dan toko obat di wilayah Indonesia, dan belakangan mulai dijual secara online. Namun pesan sang Profesor agar resepnya terjangkau oleh masyarakat luas tetap dijunjung tinggi.

Inilah motto sang Profesor: ”Dengan memberi kita menjadi kaya